Rabu, 11 Maret 2009

Bingkai Kehidupan

Mengarungi samudera kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan Allah
'kan menjadi saksi pengorbanan

Reff: Allahu ghaayatunaa
Ar-Rasuulu qudwatunaa
Al-Qur'aanu dusturunaa
Al-Jihadu sabiiluna
Al-Mautu fii sabilillah
Asma amaanina

Allah adalah tujuan kami
Rasulullah teladan kami
Al Qur'an pedoman hidup kami
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan Allah adalah
cita-cita kami tertinggi

Minggu, 22 Februari 2009

Mars Keadilan

I. Kita berhimpun dalam barisan
Lantangkan suara hati nurani
Agar negeri ini berkeadilan
Indonesia maju bukan hanya mimpi
(2x)

II. Kita berhimpun dalam barisan
Lantangkan suara hati nurani
Lahirkan pemimpin adil sejati
Yang cinta rakyat dan negeri ini
(2x)

Ref: Partai Keadilan Sejahtera
Maju terus tanpa kenal lelah
(2x)

Kibarkan tinggi panji Allah
Bangun Indonesia penuh berkah
(2x)

Bangun Indonesia penuh berkah... 2x

Senin, 08 Desember 2008

Dakwah Tidak Dapat Dipikul Orang Manja

Drs. DH Al Yusni

Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah.

Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat.

Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah.

Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya.

Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka.

Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt.

Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.
Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt.

Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan.

Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46)

Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.

Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah.

Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya.
Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya.

Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.”

Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt.

Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)

Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya.

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23)

Wahai ikhwah kekasih Allah swt.

Pernah seorang pejuang Palestina yang telah lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk mencari dukungan dunia dan dana, lalu ketika diwawancarai, “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Beliau menjawab, "Karena perjuangan". Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih.

Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan

Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan.

Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.

Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt. Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146)

Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini.

Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan.

Wallahu’alam.

http://www.dakwatuna.com/2007/dakwah-tidak-dapat-dipikul-orang-manja/

Selasa, 02 Desember 2008

Tafsir Bi al-Ma’tsur Wa Bi al-Ra’yi


Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu. (QS. 29:43)

Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya (QS. 21:10)

Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. 38:29)

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44)

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. 12:2)

Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab… (QS. 13:37)

Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muahammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. 26:192-195)



A – Pendahuluan

Allah SWT menerangkan dalam Al-Qur’anul Karim bahwasanya untuk memahami Al-Qur’an, kita diharuskan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan benar. Kita diwajibkan memperhatikan makna dibalik setiap ayat dalam Al-Qur’an agar kita dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita, sehingga kita mendapatkan keberkahan yang banyak.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, agar kita mudah memahami setiap perintah dan larangan Allah SWT dan mudah untuk menjalankan agama yang lurus. Kewajiban kita mempelajari Al-Qur’an tidak terlepas dari kewajiban kita mempelajari dan memahami bahasa Arab dengan benar. Oleh sebab itu, marilah kita tingkatkan kemampuan kita dalam bahasa Arab dan mempeluas wawasan ilmu agama kita.

Al-Qur’anul Karim diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk membawa umat manusia menuju ketaqwaan kepada Allah SWT. Kitab ini merupakan pedoman bagi umat manusia untuk menuju jalan yang lurus, agama yang diridhoi Allah SWT, agar manusia mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Rasulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, orang-orang Arab asli. Mereka dapat memahami Al-Qur’an berdasarkan naluri mereka. Bilamana mereka menemui kesulitan memahami suatu ayat, mereka akan datang kepada Rasulullah SAW dan mendapatkan uraian penjelasan langsung dari beliau.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an diajarkan dari generasi ke generasi, dari bangsa Arab kepada bangsa selain bangsa Arab, dari Sahabat kepada Tabi’in; lalu dari Tabi’in kepada Tabi’it Tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada kita yang hidup 14 abad setelah wafatnya Rasulullah.

Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, sumber penafsiran suatu ayat dilakukan dengan ayat lain dalam Al-Qur’an, atau dengan penjelasan langsung oleh Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau. Pada generasi sahabat, Al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan dua sumber tersebut, ditambah pula dengan penjelasan para Sahabat. Disini unsur penalaran Sahabat sudai mulai berperan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.

Demikian selanjutnya perkembangan ilmu tafsir semakin diperbaharui dengan penalaran para ulama ahli tafsir, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi orang-orang yang bertaqwa, perkembangan ilmu pengetahun ini akan memperdalam pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan memperkokoh keimanan mereka. Untuk itu, dalam perkembangannya, kita mengenal dua metode pokok penafsiran Al-Qur’an,


B – Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bir Ra’yi

1 – Tafsir Bi al-Ma’tsur

Metode bil Ma’tsur menafsirkan Al-Qur’an dengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat, lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metode ini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang shahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu:

a - Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Yang pertama-tama adalah dengan mendahulukan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, misalnya dalam surat Al-An’am ayat 82: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman”. Ketika ayat ini turun, para sahabat merasa gelisah, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah tentang apa maksud kata “zhalim” dalam ayat tersebut. Kemudian Rasulullah menerangkan bahwa Zhalim disini bukanlah seperti apa yang dipahami para sahabat, melainkan seperti apa yang disebutkan dalam surat Luqman ayat 13, yang berarti: “sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar".
[1]

Jadi maksud dari kata Kezhaliman dalam surat Al-An’am ayat 82 adalah Kemusyrikan.


b – Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah

Tahap selanjutnya adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an. Misalnya seperti dalam Hadits riwayat Muslim dan para perawi lainnya yang diambil dari Uqbah bin ‘Amir:

“Aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi… (QS. 8:60). Ingatlah bahwa Kekuatan disini adalah Memanah”.


c - Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat

Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah hidup, berjumpa dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka inilah yang menyaksikan langsung Qarinah dan kondisi ketika ayat Al-Qur’an diturunkan. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat tersebut dengan menggali pendapat para sahabat.


d - Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in

Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat, disyaratkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in. Diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih.

Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dijadikan pedoman karena mengandung pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tafsir itu ada empat macam; tafsir yang dapat dipahami orang Arab melalui bahasa mereka; tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang; tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama; dan tafsir yang tidak mungkin diketahui siapapun selain oleh Allah SWT.


2 – Tafsir Bi Ar-Ra’yi

Metode bir Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan rasio/ akal manusia, dan sangat tergantung kepada proses penalaran mufasir. Seringkali tergantung kepada situasi dan kondisi aktual yang dihadapi demi kepuasan ataupun kepentingan mufasir.

Metode ini memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam makna dari suatu ayat dan dalam pengambilan suatu kesimpulan (istinbat). Seringkali pula, penafsiran hanya didasarkan kepada logika manusia tanpa didukung dengan dalil-dalil yang mencukupi, hal seperti ini adalah haram, sehingga dilarang untuk dilakukan, sesuai firman Allah dan Hadits berikut ini:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)

Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di dalam neraka.
[2]

Dalam Al-Qur’an terdapat banyak kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu yang bisa dijadikan pelajaran dan nasihat untuk umat masa sekarang. Kisah-kisah ini seringkali dapat ditemukan pula dalam kitab-kitab Taurat dan Injil dengan penjelasan yang lebih panjang lebar dan perincian yang detail. Kisah-kisah ini seringkali tercampur dalam pemahaman dan penalaran mufasir yang hanya bersandarkan pada Ra’yi belaka, sehingga menodai penafsiran yang benar.

Mensikapi hal ini Rasulullah mengatakan: “Janganlah kamu membenarkan keterangan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami…”
[3] Seringkali para mufasir tidak mengkoreksi terlebih dahulu kisah-kisah Isra’iliyat ini, sehingga penukilan yang tidak benar dan batil tercampur menjadi satu dengan penukilan yang sahih.

Oleh karena itu, bilamana kita membaca kitab-kitab tafsir yang banyak menukil kisah-kisah Isra’iliyat, hendaknya kita meninggalkan hal-hal yang tidak berguna dan tidak mengutip kembali kisah tersebut, kecuali terbukti kesahihannya dan kebenarannya.

Pata ahli sufi pun banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna yang berbeda disesuaikan dengan teori-teori tasauf mereka. Diantara kelompok sufi ini ada yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memgambil makna-makna batin dibalik makna zhahir. Makna zhahir adalah segala sesuatu yang segera dapat dipahami dengan akal pikiran, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik makna zhahir. Tafsir Isyari ini diperbolehkan asalkan memenuhi empat syarat, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan makna zhahir ayat.
b. Maknanya itu sendiri Shahih.
c. Lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi timbulnya makna isyari.
d. Diantara makna isyari dan makna zhahir terdapat hubungan yang erat.

Jadi, penafsiran dengan metode Ra’yi ini dapat dibenarkan selama mengikuti kaidah-kaidah yang dibenarkan, sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama-ulama terdahulu, diantaranya: Imam Abu Ja’far Ath-Thabari dalam pembukaan tafsirnya Jami’ Bayan Al-Qur’an; Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitab Takwil Musykilul Qur’an; Imam Al-Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal; dan juga Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan Adab Tilawatil Qur’an.
[4]


3 – Tafsir Mu’asir

Para ulama terdahulu telah banyak berjasa membuahkan karya-karya besar dalam bidang ilmu tafsir dengan kajian-kajian yang meliputi Tata Bahasa; Balaghah; Nahwu; Fiqih; Mazhab; Ilmu Pengetahuan; dan juga Falsafah. Sehingga pada masa sekarang ini, semangat dan kreativitas ulama kotemporer adalah dengan meringkas; menukil; melemahkan; menguatkan; dan bahkan membahasnya dengan menguhubungkannya dengan situasi masa kini.


C – Kitab-kitab Tafsir Yang Terkenal

1 – Contoh-contoh Tafsir Yang Terkenal

Tafsir Bil Ma’tsur
- Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas
- Tafsir Ibn ‘Uyainah
- Tafsir Ibn Abi Hatim
- Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban
- Tafsir Abul Lais As-Samarqandi: Bahrul ‘Ulum.
- Tafsir Abul Fida Al-Hafidz Ibn Katsir: Tafsirul Qur’anil ‘Azim

Tafsir Bir Ra’yi
- Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al-Asam
- Tafsir Abu ‘Ali Al-Jubai
- Tafsir Abdul Jabbar
- Tafsir Zamakhsyari
- Tafsir Fakhruddin Ar-Razi
- Tafsir Al-Jalalain
- Tafsir Al-Qurtubi

Tafsir Mu’asir
- Tafsir Sayyid Quthb: Fi Zhilallil Qur’an
- Tafsir Syaikh Tantawi Jauhari: Al-Jawahir Fi Tafsiril Qur’an.
- Tafsir Sayid Muhammad Rasyid Rida: Tafsir Al-Manar.


2 - Tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas

Ibnu Abbas adalah seorang sahabat yang terkenal dengan julukan Turjumanul Qur’an. Umar bin Khaththab pun sangat menghormati dan mempercayai tafsir-tafsir beliau. Tafsir Ibnu Abbas ini dikumpulkan oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi Asy- Syafi’I dalam kitab yang diberi judul Tanwifrul Miqbas min Tafsiri Idn Abbas.

Dalam beberapa bagian tafsirnya, Ibnu Abbas terkadang mengutip keterangan Ahli Kitab yang sesuai diantara dengan Al-Qur’an; Taurat dan Injil. Beliau hanya mengutip keterangan-keterangan yang tidak diragukan kebenarannya mengenai kisah dan cerita di masyarakat.

Ibnu Abbas adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya dalam sastera Arab kuno, sehingga dalam memahami makna lafaz–lafaz, beliau sering pula merujuk pada syair-syair Arab kuno.

Riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas sangat banyak dan dapat dibedakan tingkat kualitasnya mulai dari yang shahih hingga yang dha’if. Diantaranya jalan perawi yang masyhur diantaranya adalah melalui Muawiyyah bin Shalih dari ‘Ali bin Abi Thalhah; melalui Qais bin Muslim Al-Kufi dari ‘Ata’ bin As-Sa’ib dari Sa’id bin Jubair.; melalui Ibn Ishaq dari Muhammad bin Muhammad keluarga Zaid bin Tsabit dari ‘Ikrimah atau Sa’id bin Jubair; dll.


3 – Tafsirul Qur’anil ‘Azhim karya Ibnu Katsir

KitabTafsir ini merupakan salah satu dari kitab-kitab Tafsir yang paling terkenal yang pernah ditulis sepanjang sejarah. Kitab ini ditulis oleh seorang Imam Besar Al-Hafidz, bernama ‘Imaduddin Abul Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir. Beliau adalah murid dari Imam Besar Ibnu Taimiyah. Beliau adalah seorang yang berpengetahuan luas terutama dalam bidang Tafsir; Hadits dan Sejarah.

Kitab ini ditafsirkan dengan menggunakan hadits dan asar yang disandarkan kepada pemiliknya, dengan membicarakan masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain dan menetapkan hadits yang shahih dan hadits yang lemah.

Kitab ini banyak mengingatkan riwayat-riwayat Isra’iliyat yang munkar. Juga mendiskusikan hukum fiqh dari beberapa mazhab dengan dalil yang dikemukakan oleh masing-masing mazhab.


4 – Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi

Fakhruddin Ar-Razi adalah seorang ulama yang menguasai banyak bidang ilmu, sehingga mahir dalam menghubungkan naqli dengan ‘aqli. Beliau menulis tafsir ini dalam 8 jilid besar yang tebal-tebal, tetapi diakhiri sampai dengan surat Al-Anbiya, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir beliau belum selesai.

Kemudian Syihabuddin Al-Khaubi meneruskan penulisan ini, tetapi beliaupun tidak selesai menuliskannya, sehingga diteruskan dan disempurnakan oleh Najmuddin Al-Qauli.

Tafsir ini menerangkan korelasi antara satu ayat dengan ayat lainnya, juga antara ayat dengan ilmu pengetahuan, juga mengkaji masalah ketuhanan menurut para filosof yang rasional. Namun, sebagian besar hal ini tidaklah diperlukan dalam ilmu tafsir, sehingga karya ini lebih cocok disebut sebagai ensiklopedia ilmiah tentang ilmu kalam. kosmologi, dan fisika, dan hilang relevansinya sebagai kitab tafsir.


5 – Fi Zilalil Qur’an karya Sayyid Quthb

Sayyid Quthb merupakan salah satu ulama besar abad ini yang telah syahid di tiang gantungan pemerintahan sekuler. Beliau merupakan tokoh utama gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sebuah gerakan kebangkitan Islam terbesar masa kini.

Kitab ini merupakan sebuah tafsir yang sempurna tentang kehidupan dibawah cahaya Al-Qur’an dan petunjuk Islam. Kitab ini telah menyingkapkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan membangkitkan pemikiran dan kesadaran umat tentang arti sebenarnya Al-Islam. Telah memberikan semangat para pemuda untuk mencurahkan segala potensinya untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung tinggi syari’atnya, meninggikan kalimatnya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya.

Beliau telah meresapi keindahan Al-Qur’an dan mengungkapkan perasaannya dengan jujur, sehingga sampai pada kesadaran bahwa kekacauan umat manusia saat ini adalah tidak lain karena perang ideologi dan perang fisik yang merusak dan menindas umat manusia, sehingga segala sesuatunya harus dikembalikan kepada Al-Islam.

Kembali kepada Allah, sebagai nampak dibawah Naungan Al-Qur’an, hanya mempunyai satu bentuk dan jalan, yaitu kembali kepada Sistem Allah, berhukum dengan hukum Allah, berundang-uandang dengan undang-undang Allah, berperikehidupan sesuai pedoman yang telah digariskan dalam Kitabullah, Al-Qur’anul Karim.

Tafsir ini menggunakan metode tertentu dalam penulisannya, yaitu setiap surah diawali dengan sebuah “Naungan” untuk mengkaitkan dan mempertemukan antara bagian-bagiannya, serta menjelaskan maksud dan tujuannya. Kemudian menafsirkan ayat-ayat dengan asar-asar yang shahih, disertai dengan kajian bahasa secara singkat, lalu beralih kepada membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman, dan mengaitkan Islam dengan kehidupan.

Kitab ini merupakan karya monumental dan menjadi kekayaan intelektual sosial yang besar yang diperlukan setiap Muslim pada masa kini.


D – Penutup

Demikian sekilas pembahasan dan perbandingan antara Tafsir bil Ma’tsur dengan Tafsir bir Ra’yi dan sedikit pembahasan tentang Tafsir Mu’asir. Disertai pula dengan sedikit pemaparan dari beberapa tafsir yang terkenal. Bilamana ada kesalahan itu tentunya datangnya dari penulis, untuk itu kami mohon maaf, dan bilamana ada kebenaran tentunya datangnya hanya dari Allah SWT semata.

Wallahu A’lam Bish Showab.

Ernawan Priarto

Daftar Kepustakaan
1. Al-Qur’an, Terjemahan Departemen Agama R.I.
2. Al-Qattan, Manna’ Khalil: Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh drs. Mudzakkir A.S. dari judul asli: Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, Pustaka Lentera, Bogor. Cetakan ke-6, tahun 2001.
3. Qaradhawi, DR. Yusuf: Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abul Hayyie Al-Kattani dari judul asli: Kaifa Nata’amalu Ma’a Al-Qur’anil ‘Azhim. Geme Isnasi Press, Jakarta. 1999.

[1] Disarikan dari Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
[2] Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud. Menurut Tirmidzi, hadits ini bersifat hasan.
[3] Hadits Riwayat Bukhari.
[4] Qaradhawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (terjemahan), Gema Insani Press, Jakarta. Hal. 299.

Sholat Sebagai Sarana Tazkiyatun Nafs

Adakah hubungan antara Sarana, Tujuan dan Dampak?

Sholat adalah Sarana menuju Tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ’ubudiyah dan rasa syukur. Ia adalah sarana dan sekaligus tujuan. Sholat yang dilakukan secara sempurna adalah dampak dari hati yang suci.


Sarana Tazkiyatun Nafs

Terdapat banyak sarana untuk Tazkiyah. Diantaranya:

a. Sholat, merupakan sarana pertama yang akan membersihkan jiwa kita dari kesombongan kepada Alloh, juga akan mengingatkan kita agar istiqomah atas perintahNya. (Al-Ankabut: 25)
b. Zakat, dapat membersihkan jiwa kita dari sifat bakhil dan kikir, serta menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang hakiki adalah Alloh SWT.
c. Puasa, merupakan sarana untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan.
d. Tilawatul Qur’an, akan mengingatkan jiwa kepada kesempurnaan. (Al-Anfal:2).
e. Tafakkur – Dzikir dan Fikir merupakan paduan untuk membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat Alloh SWT. (Ar-Ro’d: 28; Al-Fajar: 27 – 28; Ali-’Imron: 190 – 193)
f. Muhasabah.
g. Amar ma’ruf nahi munkar.
h. Jihad.
i. Melayani umat dan tawadhu’.
j. Taubat.
k. Dan lain-lain.

Sholat merupakan sarana terbesar dan pertama dalam tazkiyatun nafs
a. Mencegah kekejian dan kemungkaran.
b. Melibatkan zhahir dengan amalan yang sempurna dan bathin yang suci lagi khusyu’.

Hati yang khusyu’
a. Al-Mukminun: 2 - (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.
b. HR Bukhori – ”Sesungguhnya didalam jasad ada segumpal daging; bilamana gumpalan daging ini baik maka baik pula seluruh jasadnya dan apabila rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.”
c. Al-Isro’: 109 - Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.

Menghadirkan khusyu’ dalam sholat
a. Thaha: 14 - ....dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.
b. Al-A’raf: 205 – dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai..
c. An-Nisa: 43 – Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
d. Hadits - "Sesungguhnya shalat itu ketetapan hati dan ketundukan diri. "
e. Hadits - "Betapa banyak orang yang menegakkan shalat hanya memperoleh keletihan dan kepayahan”
f. Al-Fatihah: 6 – Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
g. Al-Hajj: 37 – "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali¬kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya"
h. HR Basyar bin Harits - "Barangsiapa tidak khusyu' maka shalatnya rusak."
i. HR Al-Hasan – "Setiap shalat yang tidak disertai kehadiran hati maka ia lebih cepat kepada hukuman.”
j. HR Mu’adz bin Jabal – "Barangsiapa yang di dalam shalat masih mengetahui orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya maka tidak ada shalat baginya."
k. Hadits - "Sesungguhnya seorang hamba menunaikan shalat tetapi tidak ditulis untuknya seperenamnya dan tidak pula sepersepuluhnya.”
l. Kesimpulan – kehadiran hati merupakan ruh dari sholat.

Makna batin untuk menghadirkan ruh dalam shalat
a. Menghadirkan hati – berusaha fokus dan konsentrasi.
b.
Tafahum – memahami bacaan sholat.
c. Ta’zhim – rasa hormat.
d. Haibah – rasa takut yang timbul karena rasa hormat.
e. Roja’ – harapan.
f. Haya’ – rasa malu.

Menghadirkan 6 makna diatas
a. Menjadikannya sebagai perhatian utama.
b. Senantiasa berfikir dan mengarahkan fikiran unrku memahami makna.
c. Ma’rifat atas keagungan Allah dan ma’rifat atas kehinaan diri. Sehingga lahir sikap pasrah (istikanah), tidak berdaya (inkisar) dan tunduk (khusyu’) pada Alloh yang terungkap dengan ta’zhim.
d. Timbulnya rasa takut akan adzab Alloh SWT.
e. Mengharapkan keridho’an Alloh SWT.
f. Rasa malu karena ketidaksempurnaan diri.

Obat untuk menghadirkan hati
a. Mengusir pikiran-pikiran yang melalaikan.
b. Menghindari penyebab eksternal yang akan mengacaukan panca indra.
c. Menarik jiwanya dengan paksa untuk menghayati apa yang dibacanya ketika sholat.

Hal yang harus hadir dalam hati pada setiap rukun dan syarat dari amalan sholat
Memenuhi syarat sah sholat: Adzan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.
a. Hadits - Rasulullah saw bersabda: "Tenteramkanlah hati kami (dengan adzan) wahai Bilal."

Kesimpulan
a. Al-Mukminun: 1-2 - Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya.
b. Al-Mukminun: 9 – ...dan orang-orang yang memelihara sholatnya.
c. Al-Mukminun 10-11 - Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.


Wallahu a’lam bish Showab.
17 Muharram 1427H - EP

Tarbiyah Dzatiyah

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)


Tarbiyah Dzatiyah adalah sangat penting bagi setiap Muslim untuk meningkatkan kualitas keimanan dan keislamannya sehingga mencapai maqom kesempurnaan. Untuk itu sangatlah perlu bagi setiap Muslim untuk memahami urgensi Tarbiyah Dzatiyah ini dan mengamalkannya.

Pengertian

Tarbiyah Dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan) yang diberikan oleh setiap individu Muslim bagi dirinya sendiri agar terbentuk kepribadian Islami yang sempurna dalam segala segi: keimanan, akhlaq, sosial, ilmiah dan sebagainya.

Urgensi Tarbiyah Dzatiyah

Tarbiyah Dzatiyah sangat diutamakan terutama menghadapi era materialisme dimana setiap manusia menjadi sangat individualis, liberalis-demokratis, sehingga perangkat-perangkat tarbiyah yang lainnya menjadi kurang efektif tanpa didukung oleh kesadaran masing-masing individu untuk mentarbiyah dirinya sendiri. Secara lebih rinci, urgensi-uergensi ini diantaranya adalah:

- Menjaga diri harus didahulukan daripada menjaga orang lain.
- Jika kita tidak mentarbiyah diri sendiri, lalu siapa yang akan mentarbiyah kita?
- Hisab di hari akhir akan bersifat individual.
- Tarbiyah Dzatiyah lebih mampu mengadakan perubahan pada diri sendiri.
- Tarbiyah Dzatiyah merupakan sarana Tsabat (kokoh pendirian) dan Istiqomah.
- Sarana dakwah yang paling kuat.
- Merupakan cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada.
- Mudah diaplikasikan kapan saja, dimana saja secara kontinyu.

Mengapa Tarbiyah Dzatiyah ditinggalkan?

- Kurangnya ilmu, ketidaktahuan dan kebodohan.
- Tidak memiliki tujuan dan sasaran yang jelas dalam hidup ini.
- Cinta dunia yang berlebihan.
- Pemahaman yang salah tentang Tarbiyah.
- Kurangnya basis Tarbiyah.
- Langkanya Murabbi (pembina).
- Kurang memahami prioritas.

Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah

- Muhasabah.
- Taubat atas segala dosa.
- Mencari ilmu dan memperluas wawasan.
- Memperbanyak amal-ibadah.
- Memperbaiki akhlaq.
- Terlibat aktif dalam kegiatan dakwah.
- Mujahadah.

Buah Dari Tarbiyah Dzatiyah

- Mendapatkan ridho Alloh SWT dan syurgaNya.
- Kebahagiaan dan ketenteraman.
- Mendapatkan cinta Alloh SWT.
- Kesuksesan dunia dan akhirat.
- Terjaga dari musibah dunia dan akhirat.
- Keberkahan dalam waktu dan harta.
- Sabar dalam setiap cobaan dan ujian.
- Bebas dari rasa takut.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.

Ernawan Priarto



Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. 7:96)

Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a:"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. 2:201)


Disarikan dari buku:
Al-Aidan, Abdullah bin Abdul Aziz: At-Tarbiyah Adz-Dzaatiyah Ma’alim Wa Taujihat, diterjehkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tarbiyah Dzatiyah; oleh: Fadhli Bahri; diterbitkan oleh An Nadwah, Jakarta, 2002.